BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Pendidikan
Agama Islam yang memang harus terpenuhi sebagai nilai tambahan yang sudah
ditentukan oleh pengajar disamping itu juga makalah ini sangat bermanfaat bagi
pembaca karena pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat
diambil sebagai pengetahuan atau wawasan.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
diberikan kesempurnaan dibandingkan makhluk lain, maka dari itu ada beberapa
manusia yang memang menggunakan akalnya untuk mengkaji hal-hal yang belum ada
sebagai rasa keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan mengkaji
yaitu diantaranya tentang filsafat Ketuhanan dalam Islam, keimanan dan
ketakwaan, yang berisi dari berbagai sumber, agar makalah ini ada nilai banding
dengan makalah lain.
1.2. Rumusan Masalah
Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Siapa Tuhan itu?
2. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
3. Konsep Ketuhanan Islam.
4. Bukti-bukti adanya Tuhan.
5. Definisi Iman dan Takwa
6. Proses terbentuknya Iman dan Takwa
7. Tanda-tanda orang beriman dan bertakwa
8. Serta Korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Menambah nilai dan memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam.
2. Mengetahui bagaimana kosep Ketuhanan dalam Islam.
3. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam
4. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan
dalam Islam, serta sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
5. Mengetahui penjelasan iman dan takwa, proses
terbentuknya iman dan takwa, tanda-tanda orang yang beriman dan bertakwa, dan
korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Filsafat Ketuhanan Islam
Secara
harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata
Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta
terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani
mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap
hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[1]
Sementara
itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal
sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan
di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau
semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian
filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang
fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada
Allah Swt, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya,
tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang
tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi
muslim dan sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindak
lanjuti dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai menurut Allah
Swt, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual
sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap
keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir
atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada
agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan
juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.
2.1.1.
Siapa Tuhan Itu?
Lafal Ilahi
yang artinya Tuhan,[2]
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan dan dipentingkan manusia, misalnya
dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya: “Apakah engkau melihat orang yang
menghilangkan keinginan-keinginan pribadinya?”
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak
berijisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak
terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara
dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain
sementara yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Orang menyediakan hawa nafsunya, yang dipuji dalam
hidupnya, berarti telah berbuat syirik yang sebenarnya menurut Islam hawa nafsu
harus tunduk kepada kehendak Allah Swt. Dalam surah Al-Qoshos: 38, lafal Ilah
dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri, yang artinya:
“Dan Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak
menyangka bahwa kalian mempunyai Ilah selain diriku”
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkret
maupun abstrak/gaib. Al-Qur’an menegaskan Ilah bisa dalam bentuk mufrad maupun
jama’ (ilah, ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang dipentingkan, dipuja,
diminintai, diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan dan termasuk yang ditakuti
karena mendatangkan bahaya.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 163 menegaskan,
“Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang.” Ilah yang dituju ayat di atas adalah Allah Swt,
yang menurut Ulama’ Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Ma’bud, artinya
satu-satunya yang diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu’, yang dicintai, yang
disenangi, diikuti. Inilah yang disebut Tauhid
Uluhiyah, bahwa Allah Swt.
satu-satunya Tuhan yang diibadahi, dicintai, disenangi, dan diikuti.
Allah Swt memfirmankan dalam Al-Qur’an surat Thoha :
14, yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku (Allah),
maka beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah sholat untuk
mengingatku”.
Kalimat Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai
pengertian sebagai berikut:
·
La Kholiqo illa
Allah: Tiada Pencipta selain Allah
·
La Roziqo illa
Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah
·
La Hafidha illa
Allah: Tiada Pemelihara selain Allah
·
La Malika illa
Allah: Tiada Penguasa selain Allah
·
La Waliya illa
Allah: Tiada Pemimpin selain Allah
·
La Hakima illa
Allah: Tiada Hakim selain Allah
·
La Ghoyata illa
Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah
·
La Ma’buda illa
Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah
Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid[4] menurut Ibnu Taimiyah
memiliki pengertian yang dipuja dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya
merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan kepadaNya, berserah
hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan
kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala mengingat dan terpaut cinta
denganNya. Ini yang disebut Tauhid
Rububiyah.
Lawan tauhid adalah
syirik, artinya menyekutukan Allah
Swt dengan yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan
hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti
mempersekutukan Tuhan selain dengan Allah Swt, baik persekutuan itu mengenai dzatNya,
sifatNya atau af’alNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya
ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak
dapat diampuni, syirik itu bertentangan dengan perintah Allah Swt, juga
berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan martabat manusia, serta membuatnya tak pantas
menempati kedudukan tinggi yang telah ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya
dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah Luqman : 13 yang artinya
“Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kedhaliman yang amat besar”.
Dan didalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa
orang yang telah berbuat syirik kepadaNya, tergolong orang yang telah berbuat
dosa besar, sebagaimana firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
syirik, bagi siapa berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa besar”. (QS. An-Nisa’: 48).
2.1.2.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
a.
Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut
pemikiran manusia adalah hasil pemikiran tentang Tuhan baik melalui pengalaman
lahiriah maupun batiniah dari penelitian rasional, maupun pengalaman batin.
Max Muller berpendapat bahwa konsep pemikiran barat
tentang Tuhan mengalami evolusi yang diawali dengan Dinamisme, Animisme, Politeisme,
Henoteisme, dan puncak tertingginya monoteisme (Nisbi). Pemikiran tentang Tuhan
sebagaimana di atas, hasil pendekatannya adalah budaya, Arnold Toynbe
mengatakan: “Monoteisme bukan hasil akhir dan proses pemikiran tentang Tuhan,
sebab orang yang sudah maju dalam intelektualitasnya sangat mungkin justru
berputar mundur dalam bertuhan, yakni animistis”.
b.
Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu
kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya
Nabi Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal,
tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini
mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran
tersebuut adalah:
1.
Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam,
yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam. Dalam
menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika guna
mempertahankan keimanan.
2.
Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.[5] Manusia berhak menentukan
dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus bertanggung jawab pada dirinya.
Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan manusia.
3.
Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan
perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak
ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang dilakukan manusia tidak ada
gunanya.
4.
Asy’ariyah dan Maturidiyah,
adalah kelompok yang mengambil jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah. Manusia
wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi, Tuhanlah yang menentukan
hasilnya.
2.1.3.
Konsep Ketuhanan Menurut Islam
Konsep
Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun
konkret).[6] Eksistensi atau keberadaan
Allah disampaikan oleh Rasul melalui wahyu kepada manusia, tetapi yang
diperoleh melalui proses pemikiran atau perenungan.
Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada
Allah dapat dibawa dalam kutipan di bawah ini:
a. Surat
Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw
Rasul terakhir. Ajaran Islam yang tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya
adalah Tauhidullah atau monotheisine murni. Sedangkan lafadz
kalimat tauhid itu adalah laa ilaha illa
Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada asalnya dari agama
wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia mengubah ajaran tersebut. Dan hal
seperti itu termasuk kebohongan yang besar (dhulmun’adhim).
b. Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang
mempersekutukan Allah, maka Allah pasti mengharamkan baginya surga dan
tempatnya adalah neraka”.
c. Surat Al-Baqarah : 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan
yang Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang”.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt adalah
Tuhan yang mutlak keesaannya. Lafadz Allah swt adalah isim jamid, personal nama, atau isim
a’dham yang tidak dapat
diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan dengan yang lain. Seseorang yang
telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan kalimat Syahadat Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan
selain Allah) berate telah memiliki keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak. Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan
Allah Swt sebagai prioritas utama dalam setiap aktivitas kehidupan.
2.1.4.
Bukti Adanya Tuhan
a.
Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan
Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar
dalam Teologi Islam, yaitu Khalik dan
makhluk. Khalik adalah pencipta,
yakni Allah swt, hanya Dialah Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Tidak
selamanya mutlak Esa dan tidak bersekutu. Sedangkan makhluk adalah yang
diciptakan, berdimensi ruang dan waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan,
manusia, jin, malaikat langit dan bumi, surga dan neraka.
Adanya alam semesta organisasinya yang menakjubkan
bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa rahasia-rahasianya yang unik, semuanya
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya.
Setiap manusia normal akan percaya bahwa dirinya ada
dan percaya pula bahwa alam ini juga ada. Jika kita percaya tentang
eksistensinya alam, secara logika kita harus percaya tentang adanya penciptaan
alam semesta. Pernyataan yang mengatakan “Percaya adanya makhluk, tetapi
menolak adanya khalik, adalah suatu pernyataan yang tidak benar”.
Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya,
pasti ada penciptanya, dan pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan Tuhan yang
kita yakini sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah
Swt.
b.
Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali.
Dalam pengertian lain alam ini mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak
mungkin, karena bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Hukum ini
dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi
panas yang membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali.
Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu
berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas, sedangkan
kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas berubah menjadi
panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada.
Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses
kerja kimia dan fisika terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal
ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah bersifat azali. Jika alam ini
azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu
tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
c.
Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit
saperti banyaknya butiran pasir yang ada di pantai seluruh dunia. Benda ala
yang dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dengan bumi sekitar 240.000
mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama
20 hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil
dari matahari berputar dari porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan
menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan
sembilan planet tata surya termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan
kecepatan yang luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi
ia beredar bersama dengan planet-planet dan asteroid-asteroid mengelilingi
garis edarnya dengan kecepatan 600.00 mil perjam. Disamping itu masih ada
ribuan sistem selain sistem tata surya kita dan setiap sistem mempunyai
kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada
garis edarnya. Galaxy sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan
menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa
dan organisasi yang teliti. Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi
dengan sendirinya. Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti
ada kekuatan yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu,
kekuatan maha besar itu adalah Tuhan.
d.
Argumentasi Qur’ani
Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat
Al-Fatihah ayat 2 yang terjemahya “Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah
Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang
dimaksud adalah Allah Swt. Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam
surat Al-A’la ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan,
yang menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan
memberi petunjuk”. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan
ciptaannya, yaitu alam semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan
memberi petunjukterhadap ciptaannya. Jadi, adanya alam semesta dan seisinya
tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan dan mengatur
yaitu Allah Swt.
Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu
adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati ayyam berarti enam periode dan tentunya membutuhkan proses
waktu yang sangat panjang.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal
berfirman Kun Fayakun yang artinya
jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda sampai
kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal ini agar manusia dapat
meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga muncul atau lahir
berbagai macam ilmu pengetahuan.
2.2.
Keimanan dan Ketakwaan
2.2.1.
Definisi
Iman dan Takwa
Kata
iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan
yang secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah
165, yang artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah”.
Iman
kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga
dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja untuk mewujudkan harapan
dan kemauan yang menuntut Allah kepadanya.
Dalam
hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati membenarkan,lisan mengucapkan dan
dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari (tashdiiqun
bil qolbi waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam
termaktub dalam rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.
Iman
itu mengikat orang islam, ia terikat dengan segala aturan hukum yang ada dalam
islam sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya, orang Islam
itu harus Iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan secara totalitas
mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.
Kata
taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang
berati takut, menjaga, memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara
utuh dan konsisten (istiqomah).[7]
Pengertian
taqwa
secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits. Yang artinya menjalankan
semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan_Nya (imtitsalu bi’awamirillahi wajtinabu annawahihi).
Dalam
surat Al-Baqarah :117 Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa, yang
secara umun dikelompokkan menjadi lima indikator ketaqwaan.
1. Beriman
kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Indikator taqwa yang
pertama adalah memelihara fitrah iman.
2.
Mengeluarkan harta yang dicintai kepada
karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan,
orang yang minta-minta dana, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua adalah mencintai sesama
umat manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3.
Mendirikan salat dan menunaikan zakat. Indikator
taqwa yang ketiga adalah memelihara ibadah formal.
4.
Menepati janji. Indikator taqwa yang
keempat adalah memelihara kehormatan atau kesucian diri.
5.
Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan
pada waktu jihad. Indikator kelima adalah memiliki semangat perjuangan.
Indikator taqwa berdasarkan
ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa taqwa itu adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang
merupakan buah dan hasil didikan ibadah-ibadah formal. Sedangkan ibadah-ibadah
itu sendiri adalah pancaran dari pada iman. Dapatlah dipahami bahwa taqwa itu
adalah hasil dari ibadah kepada Allah, karna tidak mungkin ada taqwa tanpa ada
amal ibadah.
2.2.2.
Proses
Terbentuknya Iman
Sejak
awal seluruh Roh manusia telah mengambil kesaksian bahwa Rabb-nya Allah Swt. Ini
berarti setiap manusia telah memiliki benih iman. Sebagaimana dalam firman
Allah dalam Qs.Al-A’raf:172 yang artinya “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.
Ditegaskan lebih lanjut dalam
Qs.Ar-Rum:30 yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Bahwa setiap ciptaan Allah dan dalam hal
ini manusia fitrahnya adalah mengesakan Allah. Artinya, fitrahnya berarti
beriman kepada Allah dan berarti pula fitrahnya adalah Islam.
Potensi fitrah atau iman Islam tersebut
perlu ditindaklanjuti dan yang paling berkompeten menumbuhkan potensi iman
Islam tersebut adalah kedua orang tua. Sebagaimana diterangkan dalam hadits
Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang
tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi”.
Imam Ghozali menisbahkan, setiap orang
mempunyai potensi untuk melihat, tetapi ia tetap tidak bisa melihat apabila
tidak ada cahaya yang masuk kedalam mata, begitu juga dengan potensi iman yang
dimiliki seseorang harus ditindaklanjuti oleh kedua orang tuanya, dan lingkungan
mereka dibesarkan.
Pada kenyataannya bermacam agama atau
kepercayaaan yang dipeluk dan dianut
manusia.Dan apabila dalam diri seseorang
telah terikat dengan tatanan iman,harus dikembangkan untuk mencapai iman
yang kokoh. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron : 190-191 yang artinya “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
2.2.3.
Tanda-Tanda Orang Beriman
Di dalam Al-Qur’an telah banyak menjelaskan
tanda-tanda orang yang beriman.
a.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman yang diterjemahkan “[594] ialah mereka yang bila
disebut nama Allah [595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah
mereka bertawakal.”
[594] Maksudnya: orang yang Sempurna imannya.
[595]
Dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat yang
mengagungkan dan memuliakannya
b.
Bertambah
keimanannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah.Baik ayat Qur’aniyah(Al-Qur’an)
maupun ayat Kauniyah (alam semesta), kemudian bergejolak hatinya untuk segera
mewujudkannya atau melaksanakannya.
c.
Senantiasa
bertawakal kepada Allah. Artinya secara lahiriyah mereka bersungguh-sungguh
atau berusaha keras dan secata batiniyah dengan banyak berdo’a memohon dengan
penuh harap kepada Allah kemudian
berhasil dan tidak menyombongkan diri dan jika gagal ia bersabar.
Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu
dari dua kebaikan [646]. dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan
menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. sebab itu tunggulah,
Sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.”
[646] yaitu mendapat kemenangan atau mati syahid.
d. Mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki. Mereka
rajin dalam menunaikan sunnah serta menafkahkan sebagian rezekinya untuk
kepentingan kemaslahatan umat dijalan yang diridhai Allah. Qs. Al-Anfal : 3
yang artinya “(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.
e. Memelihara amanah dan menepati janji, seorang mukmin
tidak akan mudah berkhianat atas amanah yang telah dipikulnya. Akan tetapi, akan
senantiasa memegang amanah dan menepati janjinya. Qs. Al-mu’minun : 6 yang artinya “Kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka memiliki [994]; Maka
sesungguhnya mereka dalam hal inii tiada tercela.”
[994] Maksudnya: budak-budak belian yang
didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di
luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita
yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam
peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh
melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya
tidak ikut tertawan bersama-samanya.
f.
Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia.
Akidah
Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan akan mempengaruhi
kehidupan seorang muslim. Abu Ala Al Maududi menyebutkan bahwa tanda-tanda
orang yang beriman adalah sebagai berikut:
a) Menjauhkan dari pandangan yang sempit dan picik.
b) Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri.
c) Mempunyai sifat rendah hati.
d) Senantiasa jujur, adil dan amanah.
e) Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi
setiap persoalan dan situasi dalam hidup.
f) Mempunyai pendirian teguh, sabar, tabah, dan
optimis.
g) Mempunyai sifat satria, semangat, berani tidak
gentar menghadapi resiko bahkan tidak takut terhadap maut.
h) Mempunyai sifat hidup damai dan ridha.
i)
Patuh, taat, disiplin
menjalankan peraturan agama.
Manfaat iman dalam kehidupan seseorang muslim:
a) Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda.
b) Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.
c) Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan.
d) Iman memberikan ketentraman jiwa.
e) Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)
f) Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
g) Iman memberikan keberuntungan dalam kehidupan.
Demikianlah
manfaat iman dalam kehidupan manusia, bukan hanya sekedar kepercayaan yang
berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi kekuatan yang mendorong dan
membentuk sikap dan perilaku hidup Islami. Apabila suatu masyarakat terdiri dan
orang-orang yang beriman, akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram, damai, dan
sejahtera.
2.2.4.
Tanda-tanda Orang Bertakwa
Adapun
tanda-tanda orang bertakwa, antara lain:
a.
Tidak suka
bergaul kecuali bergaul dengan orang-orang yang sholeh/sholehah, yang menjaga
lisannya. Bergaul dengan orang-orang sholeh karena kita akan mendapatkan banyak
dakwah, masukan, kritik yang membangun dan ketenangan bila mendapatkannya dari
orang-orang yang hanya mengucap kebenaran.
b.
Jika mendapat
musibah duniawi, ia menganggapnya sebagai ujian dari Allah SWT. Salah satu yang
mengangkat diri kita di mata Allah adalah lulusnya kita dari ujian yang
diberikanNya. Ujian bukan hanya yang bersifat bala musibah, namun kenikmatan
dalam hidup ini adalah ujian yang lebih besar. Bila diberikan musibah orang
lebih mudah ingat kepada Allah namun saat diberi ujian kenikmatan, saat itulah
Allah benar-benar sedang menguji kita.
c.
Jika mendapat
musibah dalam urusan agama ia akan sangat menyesalinya. Teringat cerita
Syaidina Umar bin Khattab yang ketinggalan satu rakaat shalat Ashar di Masjid
hanya karena beliau sedang asyik berada dalam kebun kurmanya. Mengetahui
dirinya telah tertinggal satu rakaat dalam berjamaah, Syaidina Umar pun begitu
menyesali perbuatannya sehingga kebun kurma yang dianggap sebagai penyebab musibah
itu akhirnya dijual.
d.
Tidak suka
memenuhi perutnya dengan makanan haram & tidak sampai kenyang. Ini
merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah yang berbunyi ‘Makanlah sebelum
engkau lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang’. Sungguh suatu perintah
yang seakan-akan mudah dilaksanakan namun saat mempraktekannya dalam kehidupan
sehari-hari betapa sulitnya melakukan hal itu. Dari sinilah bentuk ketakwaan
seorang mukmin dibentuk.
e.
Apabila
memandang orang lain, orang itu lebih sholeh dari dirinya. Tapi bila memandang
diri sendiri, dirinya adalah orang yang penuh dosa.[8]
f.
Beriman kepada
Allah dan yang ghaib.
g.
Sholat, zakat,
puasa.
h.
Infak disaat
lapang dan sempit.
i.
Menahan amarah
dan memaafkaan orang lain.
j.
Takut pada Allah
k.
Menepati janji.
2.2.5.
Korelasi antara Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan
dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya keduanya saling
memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat meraih ketakwaan. Karena
setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima oleh Allah tanpa didasari
oleh Iman.
Semua
bentuk ketakwaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji merupakan bagian dan
kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh tersebut merupakan konsekuensi dari
keimanan seseorang harus menterjemahkan keyakinannya menjadi kongkret dan
menjadi satu sikap budaya untuk mengembangkan amal saleh.
Dalam
Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara “orang yang beriman” dengan
“orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh atau iman dan takwa sangat
dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang kalau tanpa amal saleh yang
menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan bahwa ada iman dalam hatinya. Iman
adalah pondasi dasar seseorang hamba yang menghendaki bangunan kesempurnaan
taqwa dirinya.
Keterkaitan
antara iman dan taqwa ini, juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman
itu telanjang dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus
diikuti dengan melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh
maka imannya masih telanjang tanpa pakaian.
Oleh
karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa apabila telah punya
keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan kalimat tauhid dan
kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Setelah
menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep Ketuhanan dapat
diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh
manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Filsafat Ketuhanan
dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus
dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal dari bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara
ethimologi berarti yakin atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa
Arab, yaitu waqa-yuwaqi-wiqayah, secara
ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri, memelihara, dan melindungi.
Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits, yang artinya
menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
3.2. Saran
Sebagai
seorang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena
saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau
memperdalam kajian ini.
[1]
Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45.
[2] Agung,
Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/
konsep-ketuhanan-dalam-islam/, 01 Oktober 2013, Pukul 20.03 WIB.
[3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Filsafat Islam, PT. Raja Grofinda Bersada, Jakarta, Hlm. 129-130.
[4] Abdurrahim, dkk, Kuliah Tauhid,
Yayasan Sari Intan, Jakarta, 1989, Hlm. 103.
[5] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan
dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com
/2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 20.42 WIB.
[6] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan
dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com
/2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 21.24 WIB.
[7] Departemen Agama RI, Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam, Jakarta, 2001, Hlm. 179.
[8] Abatasa, Lima Tanda Orang
Bertaqwa Menurut Syaidina Usman Bin Affan, http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/1/1205/5-tanda-orang-bertaqwa-menurut-syaidinna-usman-bin-affan,
01 Oktober 2013, Pukul 19.42 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sempatkan berkomentar =)